Senin, 26 Desember 2011

Happy Holiday in Bunglai Village


Berawal dari Planning yang gagal
Beberapa bulan yang lalu, aku sempat berencana dengan beberapa teman SMA ku untuk pergi hiking pas moment libur tanggal 25 Desember ini. Kalau tahun lalu sudah hiking di Tahura Mandiangin, target tahun ini adalah Kahung. Sayangnya, ketika hari H semakin dekat, kawan-kawan seperjuanganku itu katanya SIBUK hingga akhirnya hikingpun dibatalkan. Rasa kecewa dan kesalpun hinggap dibenakku. Setidaknya, tetap harus ada refreshing walaupun tidak hiking. Akhirnya, ada sahabat yang mengajakku untuk ikut pulang kampung bersamanya ke Desa Bunglai kecamatan Aranio. Awalnya aku kurang tertarik karena satu setengah tahun yang lalu aku sudah pernah ikut pulkam bersamanya. Tapi dulu kami kesana melalui jalur darat dan kata sahabatku itu, kali ini kami akan menempuh jalur sungai dengan perahu. Tawaran yang mengasyikkan untuk sedikit mengurangi kekecewaanku, akupun menyetujuinya.
Jum’at malam (23 desember) aku mulai menyiapkan barang-barang yang akan kubawa. Yang terpenting dan tak boleh ketinggalan adalah kamera digital untuk mengabadikan setiap moment perjalanan nanti. Sedangkan notebookku sengaja ku tinggal di kamar walaupun tak ada penghuninya, sebab notebook adalah bayangan dari tugas-tugas kuliah yang membuat kepala mumet (semoga saja maling tidak tau tempat penyimpanan notebookku, hehe).
Sabtu (24 desember) sekitar pukul 10.00 wita, aku dan Fatma, sahabatku, mengawali perjalanan panjang kami. Pagi yang sangat cerah setelah empat hari Banjarmasin selalu diguyur hujan, menambah semangat kami yang sudah tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan.
Pemilik kapal Junjung Buih itu adalah Paman Jablay (24 Desember)
Sekitar satu setengah jam dari Banjarmasin, kami tiba di kawasan Tambela Sari. Dari sana, kami disambut dengan aroma dedaunan hijau yang sangat pekat tercium. Hawa sejuk tetap terasa sekalipun cuaca cukup panas, berbeda sekali dengan di kota. Sesampainya di pelabuhan Riam Kanan (RiKa), kami mencari kapal yang akan berangkat ke Desa Bunglai. Kapal berwarna ungu bertuliskan Junjung Buih itulah yang akan mengantarkan kami. Sebelum menaiki kapal, kami terlebih dahulu memesan nasi untuk makan siang di kapal sambil menikmati pemandangan yang akan disuguhkan disepanjang danau luas itu.
Kapal yang kami tumpangi ternyata tidak langsung berangkat. Masih harus menunggu beberapa penumpang lagi, sebab pengemudi kapal akan rugi kalau hanya membawa dua atau tiga orang penumpang saja. Terpaksalah kami menunggu.
Sambil menunggu kapal berangkat, aku dan Fatma berfoto-foto sebentar di atas kapal yang masih diam di area parkir pelabuhan itu. Fatma selaku tour guide ternyata  sudah punya planning sebelumnya bahwa rute perjalanan kami hari ini adalah Banjarmasin – Martapura – Sei.Kembang – Pelabuhan RiKa – sampai ke rumah. Tapi karena takut akan kehabisan kapal yang menuju Bunglai, akhirnya Rute perjalanan disingkat dari Banjarmasin langsung ke Pelabuhan RiKa. Tak apa lah. Planning ke Sei. Kembang nanti saja saat perjalanan kembali ke Banjarmasin.
Kapal tak kunjung berangkat, sedikit ada rasa bosan bahkan aku sempat terlelap di dalam kapal Junjung Buih itu. Namun percakapan beberapa penumpang dengan pengemudi kapal sangat seru untuk dilewatkan. Akupun tidak jadi tidur. Sepertinya  Pengemudi kapal itu orangnya sangat supel, gampang bergaul dengan siapa saja. Beliau bahkan curhat dengan penumpangnya tentang pengalaman pribadinya dalam berkeluarga. Dari pengalaman pribadi yang sering ia ceritakan, para penumpang yang sering dibawanya pun akhirnya memberinya gelar. Pengemudi kapal itu ternyata dijuluki Bahruddin Jablay alias Jarang Dibelai (hahhahaa).
Setelah sekitar satu setengah jam menunggu, barulah kapal paman Jablay itu beranjak dari pelabuhan. Aku dan Fatma langsung menyantap makan siang yang telah kami beli.

Pohon yang  Hidup Segan Mati Tak Mau
Seusai makan, kami langsung ingin hunting foto di atas kapal. Awalnya aku takut untuk naik, tapi Fatma terus membujuk akhirnya akupun memberanikan diri. Dari atas kapal, pemandangan semakin jelas. Birunya langit hanya tampak dari sela-sela awan putih  karena cuaca yang cukup cerah. Air danau berwarna hijau,dipagari oleh pegunungan yang yang menjulang kokoh. Banyak perbukitan yang membentuk pulau karena air pasang, hemmm… tak kalah indah dengan Kepulauan Seribu di Papua. Sesekali ada kapal melintas berlawanan arah dengan kami. Puas hunting foto diatas kapal, kamipun turun. Fatma memilih untuk berbaring, sedangkan aku masih belum mau untuk melewatkan pemandangan indah ini dengan tidur. Akupun duduk di bagian belakang kapal yang tak beratap sambil menceburkan kakiku ke danau.
Tak lama, Fatma terbangun (mungkin juga tidak tidur). Dia juga ikut duduk bersamaku dan sedikit bercerita tentang danau Riam Kanan itu. Dari cerita Fatma, aku jadi tau bahwa Desa Bunglai adalah satu dari banyak desa yang tersebar di pegunungan Riam Kanan ini. Sebelum bendungan riam kanan dibangun pada masa penjajahan jepang, danau yang kami lalui itu dulunya adalah pemukiman penduduk. Tidak terbayang dalam kepalaku, danau yang sangat luas dan cukup dalam itu dulunya kering dan menjadi pemukiman. Pantas saja, ketika kita menyusuri danau itu, kita akan banyak menjumpai batang pohon yang hidup segan mati tak mau. Batang pohon itu begitu kokoh, tidak mati-mati walaupun umurnya sudah puluhan bahkan ratusan tahun, tapi tak juga tumbuh membesar atau berdaun. Ini adalah bukti bahwa danau itu dulunya adalah daratan yang berupa hutan dengan pohon-pohon yang besar.
Ada beberapa Desa lagi yang menjadi penghuni pegunungan indah itu di antaranya adalah Desa Belangian, Pa’au, Kampung Baru dan Rantau Balai (hanya itu yang aku tau) dan Bunglai adalah Desa yang terletak di tengah-tengahnya.
Kurang lebih Sembilan puluh menit dari pelabuhan RiKa, kami tiba di desa Bunglai. Turun dari kapal, kami harus berjalan kaki lagi menuju rumah Fatma, tak jauh, hanya sekitar 300 meter.  Sesampainya dirumah Fatma, hay say with Fatma’s family, setelah itu aku dan Fatma langsung Istirahat dan tiduuuuuuuuuur.
Bukit berukuran 3 x 3 meter saja yang dapat menangkap sinyal Handphone(25 desember)
Pagi ini rencananya kami akan jalan-jalan melihat pegunungan yang mengelilingi desa Bunglai, juga akan jalan-jalan ke kebun milik keluarga Fatma. Kamipun berangkat sekitar pukul 06.30 dari rumah. Kami menyusuri jalan bebatuan yang lebarnya kurang lebih 1,5 meter. Dalam perjalanan itu, kami menjumpai sekumpulan monyet kecil dari kejauhan. Kata Fatma, itu adalah hama karena bisa memakan padi yang mulai tumbuh. Kami melanjutkan perjalanan.
Aku sangat menikmati perjalanan pagi itu. Hawa segar yang tidak ada di kota kudapatkan disini. Pemandangan hijau yang bersih dan sejuk sangat memanjakan mata. Setelah jauh berjalan, kamipun sampai di tempat yang sedikit lapang. Kami duduk sejenak disana sambil menunggu sunrise. Tapi mungkin cuaca yang sedikit mendung membuat matahari enggan untuk menampakkan diri. Sayangnya, banyak sekali sampah bekas makanan ringan yang mengganggu keindahan tempat itu. Ternyata tempat itu biasa digunakan penduduk untuk menelpon atau mengirim sms karena hanya disitulah ada sinyal handphone. Pantas saja banyak sampah disana, artinya sering ada orang berkunjung duduk-duduk sambil makan cemilan disana, tujuannya tidak lain untuk menghubungi teman, kerabat atau mungkin pacar (hehee).  Akupun langsung buka Facebook dan update status. Setelah sebentar kami berfoto-foto, kami meneruskan perjalanan. Ternyata tempat yang ada signal itu hanya berukuran 3 x 3 meter (huuuufth).
Beranjak dari tempat bersinyal itu, kami terus menyusuri jalan yang penuh dengan bebatuan itu. Dari kejauhan, Fatma menunjukkan sebidang tanah yang gundul, katanya kami akan menuju tempat itu. Awalnya kupikir kami akan menempuh perjalanan yang lama untuk sampai, ternyata tidak juga, sebab perjalanannya disuguhi dengan view yang indah dan tumbuh-tumbuhan yang unik. Dari jalan bebatuan, kali ini kami berbelok melalui jalan setapak, medannya sedikit menurun tapi landai. Setelah melalui tiga pagar, kamipun sampai pada sebidang tanah gundul tadi. Tanah itu ternyata tidak tandus, tapi sengaja digundul untuk dipakai menanam padi dan getah, sedangkan pagar yang kami lalui tadi gunanya untuk mengurung sapi-sapi penduduk.
Di kebun milik keluarga Fatma itu, ada sungai jernih yang mengalir. Walaupun hanya selebar 1 meter, sungai itu nyatanya menghasilkan banyak sekali ikan. Di kebun itu juga ada rumah kecil untuk beristirahat ketika lelah bekerja di kebun yang sering disebut “lampau”. Di lampau itu ada kakeknya Fatma, beliau mungkin bermalam disana. Beliau lalu memetikkan kangkung untuk kami bawa pulang. Setelah kira-kira setengah jam dikebun itu, kamipun kembali ke rumah Fatma, tapi kali ini jalur yang kami lalui berbeda dengan saat kami berangkat. Kata Fatma, jalur ini lebih singkat. Walaupun lahir dan tinggal lama di desa ini, Fatma ternyata tidak mengikuti kebiasaan orang disini yang pandai bercocok tanam (hehe, mungkin karena sejak SMA sudah menjadi anak kost di kota, hingga sekarang). Karena itu, Fatma kurang menguasai akses jalan di desanya sendiri. Alhasil, kamipun hampir tersesat didalam hutan.
Setelah melewati beberapa sungai kecil, sawah-sawah penduduk, pagar-pagar ternak dan masuk ke dalam hutan, kamipun sampai juga pada titik terang akan sampai ke Desa. Sesampainya dirumah, kami beristirahat sebentar, sarapan lalu mandi dan kemudian istirahat lagi sambil menyusun rencana jalan-jalan sore.
Sebenarnya rencana jalan-jalan sore kami akan menyusuri danau dengan perahu kecil atau “jukung”. Walaupun aku takut, tapi demi melihat pemandangan yang indah, aku harus berani. Yah, kalau soal berada di air aku memang selalu takut. Alasannya simple, karena tidak bisa berenang.

Tadinya aku sudah menghayal akan mengelilingi desa hijau ini dengan perahu, sayangnya, rencana itu harus terkubur dalam angan-angan sebab sore hari desa Bunglai diguyur hujan. Hujan semakin deras hingga malam tiba.
Terimakasih Tuhan, Engkau Telah Tunjukkan Betapa Miskinnya Aku (26 desember)
Monday in Bunglai, guyuran hujan belum juga mau berhenti, tapi kami tetap harus bersiap-siap untuk kembali ke Banjarmasin. Sekitar pukul 07.00 wita, kami berangkat dari rumah Fatma. Fatma di antar lebih dulu oleh ayahnya, sedangkan aku menyusul diantar oleh salah seorang penduduk desa itu. Sampai dipelabuhan desa, aku lalu bingung dimana Fatma berada. Apakah sudah dikapal lalu kapalnya sudah berangkat?. Aku sempat bingung dan bernaung di bawah pohon sementara hujan terus mengguyur. Dekat pelabuhan ada rumah warga, akupun lalu bertanya. Sang pemilik rumah justru menyuruh aku masuk. Dan didalam rumah itu ternyata ada beberapa calon penumpang yang juga akan menuju pelabuhan RiKa menunggu hujan reda. Di dalam rumah itu, aku disuguhi teh hangat. Suasana begitu akrab, yang ada disitu bukanlah satu keluarga, tapi mereka menjadi keluarga karena tinggal di satu kampung.
Sambil memandang hujan yang turun memburamkan hijaunya pegunungan, akupun merenungi perjalananku selama berada di Desa ini. Ketika dikota, setiap bulan harus membayar biaya ledeng yang lumayan mahal, mereka disini bisa dengan gratis menggunakan air yang bersih, asli dari pegunungan. Ketika di kota setiap pagi menunggu tukang sayur dengan pilihan yang tidak banyak, mereka disini bisa menanam dan memanen sendiri sayur-sayuran yang mereka inginkan. Ketika dikota harus membayar mahal untuk memakan buah musiman, mereka disini bisa memetiknya dikebun sendiri dan memakannya dengan gratis. Ketika dikota ribet memikirkan diri sendiri, disini mereka punya banyak keluarga karena tetangga adalah keluarga untuk saling menolong. Ketika di kota hanya ada sepetak tanah untuk tinggal, mereka punya hamparan pegunungan yang luas beserta perairannya untuk mereka tinggal. Terimakasih Tuhan, Engkau telah tunjukkan betapa miskinnya aku.
Berakhir Dengan Rencana Yang Gagal Pula (26 Desember)
Kapal yang kami tumpangi akhirnya datang menjemput, bersama rintik hujan kamipun langsung menuju kapal dan mengambil posisi paling strategis. Kapal itu tidak lain dan tidak bukan adalah kapal Junjung Buih milik paman Jablay yang kami tumpangi ketika menuju Desa Bunglai. Kapal ternyata tidak hanya memuat penumpang, tetapi juga memuat tiga buah kendaraan roda dua yang diparkir di bagian atap kapal
 Hujan yang jatuh dengan pelan di pagi itu membuat panorama pegunungan Riam Kanan terasa semakin manis. Rasanya aku belum ingin meninggalkan tempat ini. Sepanjang jalan dari desa Bunglai menuju pelabuhan RiKa, hujan tak kunjung reda. Padahal aku dan Fatma ingin duduk di atap kapal karena tak ingin ada penghalang yang mengganggu pandangan kami untuk menyaksikan pemandangan yang begitu istimewa ini.
Satu setengah jam kemudian, tibalah kami di pelabuhan RiKa. Setelah bersolek sebentar, kami berkemas untuk turun dari kapal. Kami terlebih dahulu menjemput kendaraan Fatma yang sudah di parkir selama dua malam di pelabuhan. Kami langsung bergegas berangkat. Seperti planning awal kami, dalam perjalanan pulang ini kami akan singgah di patung tangan dan objek wisata Sei. Kembang.
Patung tangan adalah pahatan berbentuk tangan di tebing tepat berseberangan dengan PLTA, disana juga ada tugu yang bertuliskan Pusat Listrik Tenaga Air Ir. Pengeran Muhammad Noor. Kamipun berfoto-foto disana dan tak mempedulikan satpam yang terus saja menggoda. Beranjak dari patung tangan, kami kembali melanjutkan perjalanan dan sasaran berikutnya adalah Objek Wisata Sei. Kembang. Setibanya di tempat itu, ternyata tak ada seorangpun disana. Kami turun dari kendaraan. Ransel dan helm turut kami bawa. Kami masuk kedalam area wisata tanpa ada seorangpun yang terlihat, disekitar objek wisata itu juga sepi penduduk. Air yang biasanya jernih, akibat hujan semalaman tampak menjadi keruh. Tak lama kamipun segera meninggalkan tempat itu tanpa berfoto, sebab jujur saja aku takut, jika ada sesuatu sekalipun kami berteriak mungkin tak ada yang mendengar.
Rencananya setelah ini kami langsung meluncur ke Banjarmasin, tetapi sesampainya di Tambela Sari tepatnya di depan SMP 1 Aranio, Fatma menunjukkan tempat dulu ia pernah berkemah ketika masih duduk dibangku SMP. Sebuah tempat yang dikelilingi rumah Belanda dan didalamnya sekarang dibangun kolam renang, cukup angker katanya. Akupun tertarik dan Fatma juga menawarkan untuk singgah. Area itu cukup luas dan rindang, sejuk sekali, apalagi ketika itu baru saja berhenti hujan. Tempatnya sangat sepi. Didepan gerbang juga tak ada yang menjaga. Kamipun masuk tanpa izin. Dan betapa terkejutnya aku, dibelakang ada seorang pria yang mengikuti kami dengan kendaraan. Pria itu ternyata pengelola kolam renang. Beliau lalu menunjukkan jalan ke kolam renang. Di sekitar kolam renang itu banyak sekali vila, vila itu terkadang disewakan. Vila itu sebenarnya adalah bekas rumah Belanda yang sudah dipugar dan disulap menjadi rumah bergaya modern. Walaupun sudah dipugar, tapi kesan angkernya menurutku masih terasa. Karena rumah-rumah itu jarang dihuni.
Kolam renang yang dimaksud ternyata kering, ya sedikit ada airnya mungkin air hujan yang menggenang. Penjaga kolampun mempersilakan kami mandi dan katanya masuk tempat ini dikenakan biaya 5.000. Dari awal kami memang tidak berniat untuk mandi. Selain karena kami sudah mandi sebelum berangkat, air di kolam itu juga kering dan apa jadinya kalau kami bermain dan berenang disitu sedangkan tempatnya sangat sepi, tak ada orang satupun. Ini lebih mengerikan daripada di objek wisata Sei. Kembang tadi.

Setelah sebentar melihat-lihat pemandangan di sekitar kolam renang, kami langsung pulang atau lebih tepatnya “kabur” karena kami tidak membayar kontribusi yang seharusnya dibayar oleh pengunjung. Hemmm, walaupun sedikit gagal mengunjungi objek wisata dikarenakan objek wisata yang kami datangi selalu sepi dan tak ada orang (terkesan seram jadinya), tapi perjalanan ini tetap memuaskan. Pengalaman, pelajaran, refreshing sudah kudapatkan. Saatnya kembali ke Banjarmasin untuk menyapa tugas-tugas yang sudah merana karena kutinggalkan berlibur selama tiga hari. Bersama semangat yang baru, lupakan semua masalah-masalah yang ada dan menyambut tahun baru 2012, saatnya menjadi jiwa yang baru.